BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman sekarang ini merayakan ulang
tahun adalah hal yang lazim bagi kebanyakan orang, ada juga berapa diantaranya
menganggap bahwa merayakan ulang tahun adalah suatu keharusan yang dilakukan
setiap tahunnya. Bahkan sekarang ini tidak sedikit perayaan ulang tahun yang
banyak diwarnai dengan hal-hal berbau maksiat. Namun, taukah sebenarnya asal
muasal perayaan hari ulang tahun itu? Dan apakah ulang tahun diperbolehkan?
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas mengenai perayaan hari ulang
tahun itulah maka saya tertarik untuk mengangkat judul “Perayaan Ulang Tahun
Dalam Hukum Islam”.
B. Rumusan Masalah
Banyak orang awam yang tidak mengerti tentang makna
maupun asal usul perayaan ulang tahun dan apakah ulang tahun tersebut
dieperbolehkan atau tidak oleh agama islam, sehingga pada akhirnya mereka
terkesan ikut-ikutan.
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah “Perayaan Ulang Tahun Dalam
Hukum Islam” ini bertujuan agar kita semakin mengetahui sejarah perayaan ulang
tahun itu sendiri dari berbagai sudut pandang dan pemikiran para ulama melalui
ijtihad mengenai masalah perayaan hari ulang tahun. Dari sini pula dapat
diketahui apa manfaat dan kerugian dari perayaan ulang tahun itu.
Dan perlu atau
tidaknya umat islam merayakan ulang tahun, karena menurut berbagai sumber
menyatakan bahwa perayaan ulang tahun lahir dari budaya Eropa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Hari Ulang Tahun
Ulang tahun atau Milad (dalam bahasa arab)
pertama kali dimulai di Eropa. Sejarah perayaan hari ulang tahun dimulai sudah
sejak lama, sebelum munculnya agama Kristen. Awalnya, perayaan ulang tahun
dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat. Dalam budaya pagan, roh-roh jahat
diyakini mengunjungi orang pada hari ulang tahun mereka. Untuk melindungi orang
yang berulang tahun dari pengaruh jahat, orang-orang dikumpulkan untuk
mengelilingi orang yang berulang tahun dan berpesta. Banyak suara yang
dikeluarkan dalam pesta tersebut untuk mengusir roh-roh jahat. Teman-teman
dan keluarga diundang datang saat sesorang berulang tahun untuk memberikan do’a
serta pengharapan yang baik bagi yang berulang tahun.
Orang-orang zaman dahulu tidak mengetahui dengan pasti
hari kelahiran mereka, karena waktu itu mereka menggunakan tanda waktu dari
pergantian bulan dan musim. Sejalan dengan peradaban manusia, diciptakanlah
kalender. Kalender memudahkan manusia untuk mengingat dan merayakan hal-hal
penting setiap tahunnya, dan ulang tahun merupakan salah satunya.
Beberapa percaya tradisi kue ulang tahun dimulai oleh
orang Yunani awal yang digunakan untuk mengambil bulan atau kue berbentuk bulan
ke kuil Artemis-Dewi Bulan. Yang lain percaya bahwa kebiasaan kue ulang tahun
dimulai di Jerman yang disebut sebagai “Geburtstagorten” di
mana digunakan untuk membuat roti dalam bentuk kain lampin bayi Yesus.
Kebiasaan lain dalam perayaan ulang tahun adalah
menyalakan dan meniup lilin. Berasal dari Yunani, pencahayaan lilin ini
digunakan untuk membuat kue yang dibawa untuk Artemis menjadi bercahaya seperti
bulan. Beberapa juga percaya dengan keyakinan agama bahwa Tuhan tinggal di
langit dan lilin-lilin menyala untuk membantu mengirim doa kepada dewa. Orang
Jerman dikatakan menempatkan lilin besar di tengah kue sebagai lambang “cahaya
kehidupan”. Bahkan saat ini orang mengucapkan keinginan dalam hati saat meniup
lilin. Keyakinan lain adalah bahwa meniup semua lilin dalam satu nafas membawa
keberuntungan dan nasib baik. Pesta ulang tahun biasanya diadakan supaya
orang yang berulang tahun dapat meniup lilinnya.
Meskipun cara perayaan ulang tahun itu sama di
sejumlah negara, beberapa negara memiliki cara unik untuk merayakan ulang tahun
berdasarkan lingkungan, budaya, tradisi keagamaan dan keyakinan spiritual. Di
mana-mana ulang tahun adalah hari istimewa dan pesta ulang tahun
diselenggarakan untuk menikmati hari dengan bersenang-senang dengan orang yang
dicintai. Mereka yang tidak hadir di pesta, mengirim ucapan selamat mereka
dengan kartu ucapan selamat ulang tahun. Tradisi ini dimulai di Inggris sekitar
seratus tahun yang lalu. Di Indonesia, khususnya anak remaja, selain ritual
umum seperti yang disebutkan tadi, perayaan ulang tahun kadang lebih konyol
lagi. Ritual siram-siraman selalu ada, siram air putih campur kopi, dan kecap,
sampai air got.
2.
Ulang Tahun Di Mata Islam
Ulang Tahun Di Mata Islam
Perayaan ulang tahun atas kelahiran seseorang atau
suatu organisasi tertentu tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW.
Perayaan ulang tahun tidak disinggung secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i.
Tidak ada ayat Al-Qur`an atau hadits Nabawi yang memerintahkan kita untuk
merayakan ulang tahun, sebagaimana sebaliknya, juga tidak pernah ada larangan
yang bersifat langsung untuk melarangnya. Kita juga tidak menemukan riwayat
yang menceritakan bahwa setiap tanggal kelahiran Rasulullah SAW, beliau
merayakannya atau sekedar mengingat-ingatnya. Begitu juga para shahabat, tabi’in
dan para ulama salafusshalih. Kita tidak pernah dengar misalnya Imam Abu
Hanifah merayakan ulang tahun lalu potong kue dan tiup lilin. Sehingga masalah
ini merupakan hasil ijtihad yang sangat erat kaitannya dengan kondisi yang ada
pada suatu tempat dan waktu. Artinya, bisa saja para ulama untuk suatu masa dan
wilayah tertentu memandang bahwa bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari
manfaatnya. Namun sebaliknya, bisa saja pendapat ulama lainnya tidak demkian,
bahkan mungkin ada hal-hal positif yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak
negatifnya.
Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih
melarang atau membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Qur`an.
Sehingga dalam satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama, perbedaan sudut
pandang pun bisa saja terjadi, tergantung dari sudut pandang mana seorang
melihatnya.
3. Pro Dan Kontra Mengenai Perayaan Ulang
Tahun
a.
Pandangan Ulama yang Pro Terhadap Perayaan Ulang Tahun
Pandangan Ulama yang Pro Terhadap Perayaan Ulang Tahun
Ada beberapa ulama yang cenderung membolehkan ulang
tahun. Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga
selama tidak ada larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Qur`an
atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah “al-ashlu fil
asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalah adalah
kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas melarangnya.
Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan
argumen bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan.
Hanya yang terkait dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait
dengan muamalah, selama tidak ada nash yang langsung melarangnya, hukumnya
tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan. Misalnya, kebiasaan pesta pasca
panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah bila ada kebiasaan yang sama di
suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal
itu dipandang sebagai ‘urf yang lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah
kekufuran atau kebatilan. Para ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan
‘illat haramnya peniruan pada orang kafir berdasarkan titik keharamannya. Bukan
semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya, kebiasaan orang kafir memberikan
sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya haram bagi muslimin untuk
melakukannya. Adapun bila ada nash secara langsung dari Rasulullah SAW untuk
tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim untuk
mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam
untuk mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang
kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri telah
merubah kebiasaannya.
Bahkan ada pula ulama yang berpendapat bahwa perayaan
ulang tahun itu mubah bukan bid’ah bahkan menurut ibnu hajar memberi ucapan
selamat atas berbagai nikmat (termasuk ulang tahun) adalah disyariatkan. Suatu
ketika Tholhah bin Ubaidillah disisi Rasul mengucapkan
“selamat” kepada ka’b bin malik atas diterima taubatnya karena
tidak ikut perang tabuk.
Ulama Saudi Syaikh Salman al-Oadah dalam sebuah siaran
televisi, yang mengatakan bahwa Muslim boleh merayakan ulang tahun kelahiran
atau perkawinan.
"Dibolehkan untuk merayakan hari kelahiran
seseorang atau merayakan peristiwa-peristiwa yang membahagiakan seperti ulang
tahun perkawinan. Dibolehkan pula melemparkan karangan bunga ke arah
teman-teman atau kerabat, " kata Syaikh Salman dalam sebuah acara di MBC,
salah satu stasiun televisi yang populer di Arab Saudi. "Ini bukan perayaan
hari keagamaan, cuma perayaan biasa dengan teman-teman. Tak ada yang salah
dengan itu semua", sambungnya.
Pernyataan al-Oadah didukung oleh rektor Fakultas
Syariah Universitas Islam Imam Muhammad, Dr Saud l-Fanissan. Ia menyatakan,
perayaan ulang tahun tidak jadi masalah asalkan pelaksanaanya tidak meniru
budaya Barat, misalnya dengan menyalakan lilin dan meniupnya.
"Perayaan semacam itu (dengan tiup lilin) tidak
bisa diterima karena meniru budaya Barat. Tapi jika perayaannya tidak disertai
ritual-ritual semacam itu-tiup lilin dan sejenisnya-boleh-boleh saja, "
jelas El-Fanissan. Ia menambahkan, umat Islam boleh membuat perayaan saat
kelulusan sekolah, saat sembuh dari sakit dan perayaan lain yang serupa.
El-Fanissan juga menyatakan setuju dengan pendapat al-Oadah untuk tidak
menggunakan kata Eid (bahasa Arab yang artinya perayaan) untuk
perayaan-perayaan semacam itu. Karena dalam Islam hanya ada dua perayaan, yaitu
Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Dikutip dari Al-Qur’an surat Maryam ayat 15 ” Keselamatan baginya dihari
ia dilahirkan, ia meninggal dan ia dibangkitkan” .
Ayat tersebut menceritakan bagaimana Allah memberikan
ucapan selamat atas kelahiran Nabi Yahya yang ketika itu lahir ke dunia dengan selamat. Ucapan selamat atas kelahiran
juga pernah dikatakan oleh Nabi Isa as. kepada dirinya sendiri. Al-Qur’an
menceritakannya dalam surat Maryam :33
”Keselamatan bagiku ketika aku lahir, meninggal dan bangkit untuk hidup
kembali. ”
Ketika memberikan notasi pada
kedua ayat ini, Ibnu Unayyah mengatakan bahwa kondisi yang paling
mengkhawatirkan (kritis) bagi seseorang adalah ketika ia baru dilahirkan,
ketika meninggal dunia dan ketika dibangkitkan di Padang Mahsyar (alam yang
menyatukan umat manusia, dari yang pertama sampai yang terakhir). Apa yang sebenarnya dikehendaki
oleh kedua ayat di atas memang masih diperdebatkan. Namun yang jelas, sebagian
ulama menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk mengesahkan peringatan
ulang tahun.
b. Larangan Merayakan Ulang Tahun
Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang
tahun yang diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah
yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun
adalah ulang tahun bila sampai menjadi keharusan untuk dirayakan dianggap
sebuah bid’ah. Sebab Rasulullah SAW belum pernah memerintahkannya, bahkan meski
sekedar mengisyaratkannya pun tidak pernah. Sehingga bila seorang muslim sampai
merasa bahwa perayaan hari ulang tahun itu sebagai sebuah kewajiban, masuklah
dia dalam kategori pembuat bid’ah.
Kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor
begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai
muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada
tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata
kehidupan. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil yang melarang umat Islam
meniru-niru perbuatan orang-orang kafir. Sebenarnya jiwa kita ini sudah
terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging
di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita mereka kurang sreg kalau pada
hari ulang tahun anaknya tidak dirayakan. Meski hanya sekedar dengan ucapan
selamat ulang tahun.
Para ulama memandang perayaan ulang
tahun identik dengan perilaku orang-orang kafir. Sehingga mereka
mengharamkan umat Islam untuk. Selain itu, seringkali acara ulang tahun
disertai dengan banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget,
dansa, campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan
shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu sampai melupakan
niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan menonjolkan kekayaan.
Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada penyelenggaranya.
Ulang tahun termasuk di antara
hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi SAW. Dan tatkala
penentuan hari raya adalah tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka
menentukan suatu hari sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah
dalam agama dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ
فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا:
يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya
terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang
kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah
mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu)
hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918).
Dinyatakan shahih oleh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460) Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan
yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha. Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya
yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu alaihi
wasallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk dari mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah
-rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah
haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits
menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha`
hal. 83 Dan pada hal. 84,
beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan
dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”. Karenanya tidak boleh seorang muslim mengucapkan
selamat kepada siapapun yang merayakan hari raya yang bukan berasal dari agama
Islam (seperti ultah, natalan, waisak, dan semacamnya), karena mengucapkan
selamat menunjukkan keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah
tersebut. Dan ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang
muslim wajib membenci kemaksiatan.
Ulang tahun sama sekali tidak membawa manfaat. Ulang
tahun selalu dirayakan dengan pesta dan mengundang teman-teman, lalu
tiup lilin, potong kue, bernyanyi nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali
tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan
justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor
pada tradisi bangsa lain.
4. Pendapat Masyarakat
Banyak pendapat yang datang dari masyarakat mengenai
pandangan mereka tentang ulang tahun. Beberapa diantaranya mengatakan
bahwa ulang tahun itu sah-sah saja dilakukan dalam islam. Asalkan merayakannya
dengan cara banyak berdoa dan merenung akan usia yang telah kita lampaui
sekarang, bersamaan dengan bertambahnya usia semakin berkurang pula jatah usia
kita. Ada yang mengatakan, asalkan kita tidak melakukan acara tiup lilin
seperti yang dilakukan orang Barat maka pesta ulang tahun semeriah apapun tidak
ada masalah.
Sedangkan yang tidak menyetujui dirayakannya ulang
tahun dalam islam, meyatakan bahwa ulang tahun hanyalah buang-buang uang dan
ulang tahun tidak seharusnya dirayakan karena sejatinya pada saat kita berulang
tahun itulah usia kita berkurang. Belum lagi jika ulang tahun tersebut diwarnai
dengan hal-hal yang tidak bermanfaat sama sekali.
Banyak pula yang menyatakan haram atau tidaknya
merayakan ulang tahun adalah tergantung pada niatnya. Jika niatnya adalah
bersyukur atas usia yang masih diberikan oleh Allah maka tidaklah haram. Namun
jika niatnya hanya ingin berpesta dan memamerkan kekayaan duniawi maka hal
tersebut adalah dilarang.
5.
Perlukah
Umat Islam Merayakan Ulang Tahun
Pembahasan
boleh tidaknya masalah ulang tahun seseorang atau organisasi memang tidak
disinggung secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i. Tidak ada ayat Al-Qur`an
atau hadits Nabawi yang memerintahkan kita untuk merayakan ulang tahun,
sebagaimana sebaliknya, juga tidak pernah ada larangan yang bersifat langsung
untuk melarangnya. Sehingga umumnya masalah ini merupakan hasil ijtihad yang
sangat erat kaitannya dengan kondisi yang ada pada suatu tempat dan waktu.
Artinya, bisa saja para ulama untuk suatu masa dan wilayah tertentu memandang
bahwa bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari manfaatnya. Namun sebalik,
bisa saja pendapat ulama lainnya tidak demkian, bahkan mungkin ada hal-hal
positif yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak negatifnya. Mengapa
demikian? Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih melarang atau
membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Qur`an. Sehingga
dalam satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama, perbedaan sudut pandang
pun bisa saja terjadi, tergantung dari sudut pandang mana seorang melihatnya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
Perayaan ulang tahun lahir dari budaya luar, dimana memiliki tujuan untuk
mengusir roh-roh jahat. Agama Kristen adalah salah satu agama yang mendukung
adanya perayaan ulang tahun. Sedangkan dalam agama islam sendiri tidak pernah
disinggung tentang perayaan ulang tahun tersebut baik oleh Rasullah SAW, ayat
Al-Qur`an maupun hadits. Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih
melarang atau membolehkannya. Maka banyak ulama melihatnya dari berbagai sudut.
Ada yang mengatakan bahwa merayakan ulang tahun itu boleh-boleh saja menurut
islam, dan ada pula ulama yang mengatakan bahwa merayakan ulang tahun itu
adalah bid’ah dan yang merayakannya termasuk orang kafir. Kedua sudut pandang
tersebut didasari dengan dalil maupun hadits yang memperkuatsetiap pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa ulang tahun itu boleh-boleh saja asal tidak
meniup lilin. Karena acara tiup lilin dan memanjatkan doa sebelum meniupnya
adalah adat dan budaya dari orang Kristen dan Yahudi dari ijtihad yang
dilakukan oleh para ulama, dan dari berbagai sudut pandang yang telah
diutarakan diatas masih belum dapat diambil hasil yang pasti mengenai boleh
tidaknya ulang tahun tersebut dirayakan.
B. Saran
Tidak ada salahnya orang islam merayakan ulang tahunnya, asalkan dalam
merayakan itu tidak ada hal berbau maksiat maupun foya-foya di dalamnya. Sebagai
umat islam, meskipun kita bebas memilih untuk merayakan ulang tahun atau tidak,
tapi dalam merayakan ulang tahun hendaknya tidak berkiblat pada
kebudayaan Barat. Merayakan ulang tahun juga bisa dilakukan dengan versi islam,
yaitu bukan dengan berpesta pora, bersenang-senang dan menghabiskan uang banyak
untuk menyelenggarakan pesta yang mewah, tetapi merayakan ulang tahun dengan
berbagi dan bersedekah kepada orang yang tidak mampu apabila kita mempunyai
dana lebih, jika tidak kita bisa memperingati hari ulang tahun dengan melakukan
puasa.
0 komentar:
Posting Komentar