BAB
I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal
yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban
yang Islami. Bahkan, ayat pertama diturunkan oleh Allah sangat berhubungan
dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullah pun dalam menyebarkan Islam dan
membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para sahabat.
Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom” sampai membentang ke seberang
benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar ke jutaan umat manusia di
penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan sejarah peradaban yang
membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al-Munawarah. Sejarahpun mencatat banyak
Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa segera bangkit dari keterpurukan
dengan upaya membangun pendidikan.
Pada hakikatnya manusia
sebagai khalifah Allah dibumi ini.[1] Wajar, karena dari
pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan mampu membangun peradaban
tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan pendidikan akan menjadi
salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau kegemilangan sebuah peradaban.
Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi
para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya
dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang
benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma
dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan
hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Metode ilmiah dalam
membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang
belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun
sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur`an yang
diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW, dari masa ke masa selalu berkembang
pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang
akan datang.
Menyesuaikan dengan
kemampuan manusia dalam membaca mukjizat tersebut. Dalam Surat Al-An’am ayat 38
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Ditegaskan juga
dalam ayat lain, yaitu surat An Nahl ayat 89 “kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” Untuk itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi
para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut Al-Qur`an dan Al-Sunnah.
Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan
yang disandarkan pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Mengetahui konsep
pendidikan dalam Al-Qur`an?
2.
Proses belajar
mengajar dalam Al-Qur`an?
TUJUAN
1.
Agar mahasiswa
tahu tentang ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengan tujuan pendidikan.
2.
Agar para mahasiswa
dapat memahami bahwa Al-Qur`an secara konfrehensif membahas tentang tujuan
pendidikan.
3.
Agar mahasiswa
dapat memahami tentang urgensi pendidikan ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur`an
yang berkaitan dengan pendidikan.
4.
Agar mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami realitas tujuan pendidikan saat ini dengan tujuan
pendidikan yang tergambar dalam Qur`an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep
Pendidikan dalam Al-Qur`an
Istilah
pendidikan bisa ditemukan dalam Al-Qur`an dengan istilah ‘At-Tarbiyah’, ‘At-Ta`lim’, dan ‘At-Tadhib’,
tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘Rabba’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi`il madhi rabba, yang mempunyai
pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’
yang berarti nama Allah.[2] Jika ditelusuri ayat-ayat
Al-Qur`an dan matan As-Sunah secara mendalam dan komprehensif sesungguhnya
selain tiga kata tersebut masih terdapat kata-kata lain yang berhbungan dengan
pendidikan. Kata-kata lain tersebut, yaitu Al-tazkiyah,
Al-Muma’idzah, Al-Tafaqquh, Al-Tilawah, Al-Tahzib. Al-Irsyad, Al-Tabyin, Al-Tafakkur,
Al-Ta’aqqul, dan Al-Tadabbur.[3]
Pendidikan islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya
adalah Al-Qur`an dan Hadits Nabi Muhammad SAW Dari kedua sumber tersebut, para
intelektual muslim kemudian mengembangkan dan mengklasifikasikannya kedalam dua
bagian yaitu: Pertama, akidah untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan. Kedua,
adalah syariah untuk ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena itu
pendidikan termasuk amal nyata dan hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip
dasar materi pendidikan islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial,
dan ilmu pengetahuan. Dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut dapat
diperoleh isyarat tentang kegiatan belajar mengajar dengan berbagai komponen.
1.
Konsep
Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat
Al-Alaq ayat 1-5
Agama Islam adalah
agama yang universal, yang mengajarkan umat manusia mengenai berbagai
aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Salah satu di antara ajaran
tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melakukan pendidikan.[4] Apabila kita memperhatikan
ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, maka
nyatalah bahwa Allah telah menekankan perlunya orang belajar baca tulis dan
ilmu pengetahuan.
Firman Allah dalam surah Al-alaq ayat 1-5 :
&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.[5]
Ø Tafsir Surat
Al-Alaq ayat 1-5
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan
perantaraan tulis baca.
Pada surat Al-Alaq (96) ayat 1 hingga 5, proses belajar
mengajar berlangsung dari tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui metode
membaca (iqra`) Tuhan (melalui
Malaikat Jibril) ingin agar Nabi Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril. Para ulama tafsir melihat bahwa kata kerja
perintah membaca (fi’il amr) yakni
kalimat iqra` (bacalah) pada ayat
pertama Al-alaq tersebut tidak ada objek atau maf`ul nya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dibaca itu mencakup
berbagai hal yang amat luas, yakni tidak hanya pembaca yang tersurat atau yang
tertulis, melainkan termaksud yang tersirat atau yang tidak tertulis. Adanya
ayat-ayat Tuhan yang tertulis di jagad raya, fenomena sosial, dan lainnya.[6]
“Bacalah!” dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptkan”.[7]
(Ayat 1). Dalam suku pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan
pertama didalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad SAW disuruh
membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu diatas nama Allah, Tuhan yang
telah mencipta. Yaitu “Menciptakan manusia daripada segumpal darah” (Ayat 2).
Yaitu peringkat yang kedua sesudah muthfah, yaitu segumpal air yang telah
berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari
dari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal
dari itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal
daging (Mudgah).
Nabi bukanlah seorang
yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak
pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril
mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai
menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, di
ajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya diluar kepala, dengan sebab itu akan
dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak
pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang
diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia
akan diberi nama Al-Qur`an dan Al-Qur’an itupun artinya ialah bacaan.
Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudratku dan iradatku”. Syaik
Muhammad Abduh didalam Tafsir Juzu` `Amma-nya menerangkan ; “Yaitu Allah yang
Mahakuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal,
kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca
pada seorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka
jika kita selidiki isi hadits yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh
membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya
bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia
adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya
dibelakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang
akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.
“Bacalah ! Dan Tuhan
engkau itu adalah Maha Mulia”. (Ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau
disuruh membaca diatas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah,
diteruskan lagi menyuruhnya membaca diatas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang
selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, maha
dermawan, maha kasih dan sayang kepada makhluk-Nya ; “Dia yang mengajarkan
dengan qalam”. (Ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi itulah kemuliaannya
yang tertinggi. Yaitu diajarkannya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya
berbagai rahasia, diserahkannya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan
Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Disamping lidah untuk membaca, Tuhan pun
mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat di catat. Pena
adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah
berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang
dia tidak tahu”. (Ayat 5).
Lebih dahulu Allah Ta’ala
mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam
itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat
pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam
tangannya ;
“Ilmu
pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat
buruan itu. Oleh sabab itu ikatlah buruan-mu dengan tali yang teguh”.
Maka didalam susunan
kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata
singkat Tuhan telah menerangkan asal usul kejadian seluruh manusia yang
semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil
dari bumi. Yaitu dari hormon, calori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang
semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan
poko dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang
terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia yang sekitarnya
ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang
terasa dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan
pulalah kepandaian menulis.
Didalam ayat yang mula
turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan
menulis. Berkata Syaik Muhammad Abduh dalam tafsirnya : “Tidak didapat
kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini
didalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala
cabang dan bahagiannya. Dengan ini mula dibuka segala wahyu yang akan turun
dibelakang. Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat manju, merobek segala
selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selam ini terkunci sehingga
mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka
mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat
pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan
bangun lagi selama-lamanya”.
Ar-Raziy menguraikan dalam
tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca diatas nama Tuhan yang
telah mencipta, adalah mengandung Qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat.
Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan
menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada
juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapa difahamkan kalau tidak
didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia
Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan ditiga ayat sesudahnya mengandung Nubuwat,
kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan
perantaraan Nubuwwat, dan Nubuwwat itu sendiripun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.[8]
Ø Asbabun nuzul
surat Al-Alaq aya 1-5
Diriwayatkan
oleh ‘Aisyah dalam sebuah hadist dalam kitab Shohih Bukhori, Ketika beliau
(Rasulullah) ada di Gua Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!'
Beliau berkata,”Sungguh saya tidak dapat membaca.” Ia mengambil dan mendekap
saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata,
“Bacalah!” Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak dapat membaca:” Lalu ia
mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya,
lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, “Sungguh saya tidak bisa
membaca” Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia
melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra” bismi rabbikalladzi khalaq.
Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam.
'Allamal insaana maa lam ya'lam.
2.
Konsep
Pendidikan Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 31-32
Artinya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!.[9] Mereka menjawab: “Maha
suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(QS. al-Baqarah: 31-32)
Ø Tafsir surat
Al-Baqarah ayat 31-32
Manusia
dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik
benda-benda. Dalam ayat ini Allah SWT menunjukkan suatu keistimewaan yang telah
dikaruniakannya kepada Nabi Adam as yang tidak pernah dikaruniakan-Nya kepada
makhluk-makhluk lain, yaitu ilmu pengetahuan dan kekuatan akal atau daya pikir
untuk mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dan keturunan ini diturunkan
pula kepada keturunannya, yaitu umat manusia. Para malaikat yang ditanya itu
secara tulus menjawab sambil menyucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maksud mereka, apa yang Engkau
tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan
kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah dibalik
itu. Dari pengakuan para malaikat ini, dapatlah dipahami bahwa pertanyaan yang
mereka ajukan (pada Al-Baqarah ayat 30) semula mengapa Allah mengangkat Nabi
Adam AS menjadi khalifah, bukanlah suatu sanggahan dari mereka terhadap
kehendak Allah SWT, melainkan hanya lah sekedar pertanyaan untuk meminta
penjelasan. Setelah penjelasan itu diberikan, dan setelah mereka mengakui
kelemahan mereka , maka dengan rendah hati dan ketaatan mereka mematuhi
kehendak Allah, terutama dalam pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah. Ini
juga mengandung pelajaran bahwa manusia yang telah dikaruniai ilmu pengetahuan
yang lebih banyak daripada makhluk Allah yang lainnya, hendaklah selalu
mensyukuri nikmat tersebut, serta tidak menjadi sombong dan angkuh karena ilmu
pengetahuan serta kekuatan akal dan daya pikir yang dimilikinya.
3. Konsep Pendidikan
Islam dalam Al-Qur`an Surat Al-Mujadalah ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.[10]
Ø Tafsir Surat Al-Mujadalah
ayat 11
1)
Pada zaman dahulu
para sahabat berlomba-lomba mencari tempat duduk yang dekat dengan Rosulullah
saw agar mereka mudah mendengar perkataan Rosulullah yang disampaikan kepada
mereka.
2)
Anjuran untuk
memberikan tempat kepada orang yang baru datang sehingga menimbulkan rasa
persahabatan antar sesama yang hadir.
3)
Sesungguhnya
apabila tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam
melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya
di dunia dan akhirat.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah
yang berbunyi:
Artinya: Allah selalu
menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (H.R. Muslim dari Abu
Hurairah)
Jika dipelajari
maksud ayat diatas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar
orang-orang yang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau
yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling
bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat
dimuka, sehingga orang yang datang terlambat tidak perlu melangkahi atau
mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat
datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat
tempat duduk. Pada akhir ayat ini juga menjelaskan bahwa orang-orang yang
memiliki derajat yang paling tinggi disisi Allah ialah orang yang beriman dan
berilmu serta mengamalkan ilmu tersebut sesuai yang diperintahkan oleh Allah
dan RasulNya. Allah juga menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang
dilakukan manusia, sehingga Dia akan memberikan balasan yang adil sesuai dengan
perbuatan yang telah dilakukannya. Apabila ayat diatas dikaitkan dengan judul
makalah ini yakni tentang alat pendidikan, maka dapat ditarik titik temu yakni
bahwa secara tersirat Q.S Al-Mujadalah ayat 11 tersebut menjelaskan mengenai
macam-macam alat pendidikan materiil yakni tentang pengaturan tempat duduk, hal
ini terlihat dalam ayat yang menjelaskan supaya kita berlapang-lapang dalam
suatu majelis. Memang pengaturan tempat duduk tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keberhasilan peserta didik, tetapi dengan pengaturan tempat
duduk yang baik dan benar setidaknya dapat menciptakan suasana kelas yang
kondusif sehingga memudahkan peserta didik untuk menyerap materi yang
disampaikan oleh pendidik.
Ø Asbabun Nuzul surat
Al-Mujadalah ayat 11
Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan, ia mengatakan bahwa pada suatu hari
yakni hari jum’at, Rasulullah berada di Suffah untuk mengadakan pertemuan
disuatu tempat yang sempit, dengan maksud untuk menghormati pahlawan-pahlawan
Perang Badar yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar. Terdapat beberapa
orang pahlawan Perang Badar yang terlambat datang pada pertemuan tersebut,
diantaranya ialah Sabit bin Qais. Para pahlawan tersebut berdiri diluar dan
mengucapkan salam kepada Rasulullah dan orang-orang yang hadir lebih dahulu,
Rasulullah pun menjawab salam tersebut begitu pula dengan orang-orang yang
hadir lebih dahulu. Para pahlawan Badar yang terlambat tersebut tetap berdiri,
menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi tak ada yang
menyediakannya. Melihat kejadian tersebut Rasulullah merasa kecewa, lalu
mengatakan kepada orang-orang yang berada disekitarnya untuk berdiri. Maka
beberapa orang yang berada disekitar Rasulullah pun berdiri, tetapi dengan rasa
enggan yang terlihat diwajah mereka. Kemudian orang-orang munafik memberikan
reaksi dengan maksud mencela Nabi, mereka mengatakan bahwa Rasulullah itu tidak
adil karena ada orang yang dahulu datang dengan maksud memperoleh tempat duduk
didekatnya, tetapi malah disuruh berdiri agar tempat itu diberikan kepada orang
yang terlambat datang. Maka sebagai jawabannya turunlah ayat ini.[11]
4.
Konsep
pendidikan Islam dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 125
í÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
“Serulah kepada jalan Tuhan engkau dengan
kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik”. (Pangkal ayat 125). Ayat ini adalah mengandung ajaran keapada
Rasul SAW tentang cara melancarakn dakwah, atau seruan terhadap manusia agar
mereka berjalan di atas jalan Allah. Nabi SAW memegang tampuk pimpinan dalam
melakukan dakwah itu. Kepadanya dituntunkan oleh Tuhan bahwa di dalam melakukan
dakwah hendaklah memakati tiga macam cara yaitu : pertama, Hikmah
(Kebijaksanaan). Yaitu dengan cara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang
lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kapada agama, atau kepada
kepercayaan terhadap Tuhan. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula
ditunjukkan Tuhan.
Kata “Hikmat” itu kadang-kadang diartikan
orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat.
Filsafat hanya dapat difahamkan oeh orang-orang yang telah terlatih fikirannya
dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi Hikmat dapat menarik orang yang belum
maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar.
Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk juga
dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmat “diam” daripada
“berkata”.
Yang kedua ialah Al Mau ‘izhatul Hasanah,
yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang
disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab
itu termasuklah dalam bidang “Al Mau’izhatil Hasanah”, pendidikan ayah-bunda
dalam rumah tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di
hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga
pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Pengajaran-pengajaran yang lebih besar
kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum diisi lebih dahulu oleh
ajaran-ajaran yang lain.Yang ketiga ialah “Jadil-hum billati hiya ahsan”,
bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul
perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik,
ayat ini menyuruh agar, dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat
dielakan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah
memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau
sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang
yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja
mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah
dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran
yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya
disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima
kebenaran, meskipun hait kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok cara melakukan Dakwah ini,
hikmat, mau’izhah hasanah dan mujadalah bil lati hiya ahsan, amatlah diperlukan
di segala zaman. Seba dakwah atau ajakan dan seruan membawa ummat manusia
kepada jalan yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun
propaganda itu sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat dakwah. Dakwah
meyakinkan, sedang propaganda atau di’ayah adalah memaksakan. Dakwah dengan
jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan keyakinan orang. Apatah lagi
dalam hal agama. Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali
tidak ada paksaan. Dan diujung ayat ini dengan tegas Tuhan mengatakan bahwa
urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah sendiri;
“Sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang dapat petunjuk”
(Ujung ayat 125).
Demikianlah ayat ini telah dijadikan salah
satu pedoman perjuangan, menegakkan Iman dan Islam di tengah-tengah berbagai-ragamnya
masyarakat pada masa itu, yang kedatangan Islam adalah buat menarik dan
membawa, bukan mengusir dan mengenyahkan orang. Dan sampai sekarang, ketiga
pokok ini masih tetap terpakai, menurut perkembangan-perkembangan zaman yang
modern.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
adalah usaha dasar yanng dilakukan manusia untuk mengembangkan potensi manusia
lain atau memindahkan nilai dan norma yang dimiliknya kepada orang lain dalam
masyarakat. Proses pemindahan nilai dan noma itu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya adalah, pertama, melalui pengajaran, yaitu proses
pemindahan nilai dan norma berupa (ilmu) pengetahuan dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Kedua, melalui pelatihan yang dilaksankan dengan jalan
membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh
keterampilan mengerjakan suatu pekerjaan. Ketiga, melalui indoktrinasi yang
diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti saja apa yang diajarkan tanpa
mempertanyakan nilai-nilai atau norma yang diajarkan atau yang dipindahkan itu.[12]
B. Saran
Semoga
dengan selesainya makalah ini bisa dijadikan salah satu referensi sebagai suatu
pengetahuan kepada pembaca sekalian utamanya penyusun, semoga dengan adanya
makalah ini bias member manfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata,
Abuddin. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan.2002.Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Daud
Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam.2011.Jakarta:
PT. Grafindo Persada
Nata,
Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam.
2010.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Pohan,
Selamat. Ilmu Pendidikan Islam. 2015.Medan:
KBPM Sumatera Utara
Abdulmalik, Syaikh. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX.Surabaya: Yayasan
Latimojong
[1] Selamat Pohan, Ilmu
Pendidikan Islam, (Medan: KBPM Sumtera Utara 2015) cet. II hlm. 59
[2] Selamat Pohan, Ilmu Pendidikan Islam,
(Medan: KBPM Sumtera Utara 2015) cet. II hlm 163-164
[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2010) cet. I hlm. 7
[4] Selamat Pohan, Ilmu
Pendidikan Islam, (Medan: KBPM Sumtera Utara 2015) cet. II hlm. 60
[5] Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim
Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm.
194
[6] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2010) cet. I hlm. 141
[7] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002) cet. IV hlm. 42
[8] Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim
Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXIX, (Surabaya: Yayasan Latimojong) hlm.
194-196
[9] Selamat Pohan, Ilmu Pendidikan Islam, (Medan: KBPM
Sumatera Utara 2015) cet. II hlm. 165
[10] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002)
cet. IV hlm. 151
[11] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002) cet. IV hlm. 152
[12] Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2011) cet. XI hlm. 180
0 komentar:
Posting Komentar